Saturday, 23 May 2015

Daftar ke SBI …apa sich?



Tidak terasa  musim pendaftaran siswa baru atau PSB mulai bergulir. Setiap sekolah  terutama swasta atau sekolah negeri  berlabel SBI mulai membuka pendaftaran siswa baru untuk tahun ajaran 2011/2012.  Sejak awal, para orang tua  banyak bertanya-tanya   mau diteruskan kemana setelah anaknya bisa lulus dari SD atau SMP . Wacana  yang berkembang  adalah para orangtua  sangat  tertarik untuk mengikuti tren masa kini untuk memasukkan anaknya ke sekolah  RSBI (rancangan  sekolah bertaraf internasional, SBI (sekolah  Bertaraf Internasional)  atau minimal yang berlabel SSN (sekolah standar Nasional).  Seringkali  para orangtua menanyakaan kepada para guru  kalau disarankan masuk ke sekolah  A, pastilah pertanyaannya labelnya apa, SBI, SSN atau  tanpa label  (SSS = sekolah sangat sederhana..)? Seakan-akan jika anaknya bisa masuk ke salah satu sekolah itu, seolah-olah sudah ada jaminan akan kesuksesan belajarnya.
Ketika anak  dimasukkan  ke SBI dengan segala fasilitas bertaraf internasional, dan juga  tarifnya internasional maka hanya  golongan atas lah yang kemungkinan besar menjangkau harga  tersebut. Namun  sebagian besar orangtua  dengan  adanya harapan yang tinggi terhadap anaknya, dengan segala cara  berusaha memasukkkan anak-anaknya ke sekolah yang prestisius  tersebut. Suatu kebanggaan jika anaknya beda dengan teman-temannya yang lain.  Di sekolah ini konon kabarnya  kegiatan  belajar itu  melebihi sekolah pada umumnya dari segi waktu  dan materi, dengan  kata pengantar bahasa Inggris  dari para guru nya.  Siswanya pun sangat sedikit dalam satu kelas seperti  suasana di kursusan.  Tidak mengherankan jika anak-anak di sekolah ini termasuk yang ‘lebih’ dibanding anak kebanyakan dengan segala aktivitas pembelajaran berbasis  IT.
 Namun ada miring  dari  penyelengaraan  sekolah ini,  dari beberapa sumber  mengatakan anak-anak cenderung  bersifat individualism, mereka kurang banyak bersosialisasi dengan  banyak teman.  Dengan kelas yang besar , anak-anak bisa mengenal banyak  karakter dari masing-masing temannya . Dengan kelas kecil  hanya beberapa orang dalam satu kelas, anak akan  berbaur dengan teman yang sedikit pula. Apalagi jika mereka dibebani dengan tugas-tugas yang menumpuk yang hanya  berhubungan dengan   komputer,  kapan mereka akan lebih banyak bersosialisasi dengan‘orang’. Yang demikian itu  ditakutkan akan membuat hubungan sosialisasi yang tidak sehat, hanya memfokuskan pada diri sendiri saja ( self-minded). Lebih lanjut, waktu untuk ‘bermain ‘ dengan teman-temannya dengan tawa canda   yang sangat diperlukan  untuk perkembangan jiwanya akan terbatasi. Demkian halnya  penngenalan terhadap  lingkungan sekitar  kurang  mencukupi.  Akibat  tidak langusng  dari  SBI  ini adalah  kurang berkembangnya bahasa daerah  dengan  difokuskannya bahasa Inggris sebagai pengantar.
Oleh karena itu  bagi para orangtua  janganlah terlalu memaksakan anak-anaknya  untuk daftar ke sekolah karena labelnya. Apalagi jika kemampuan anak  tidak mencukupi  prasyarat masuk. Misalnya rata-rata raport harus minimal 70. Untuk orangtua yang  keukeuh’ ingin masuk ke sekolah tersebut, seringkali ada ‘tuntutan’ atau ‘usaha’ agar  anaknya  memiliki nilai yang  cukup. Akibatnya  ada semacam ‘manipulasi’ nilai  terutama di akhir tingkat  karena anak tersebut mau daftar ke sekolah yang notabene RBSI atau SBI? Apalah  gunanya  memaksakan keadaan  jika nantinya  keadaan jadi lebih buruk.  Jika  anak dengan IQ di bawah  rata-rata memaksakan diri ke sekolah SBI, bagaimana nantinya?  Alih-alih lebih pintar, nanti malahan ‘kagugusur’ oleh yang lain, tidak bisa mengikuti irama SBI.  Nanti diselidik, kenapa anak yang nilainya besar-besar, tapi kemampuan kurang bisa masuk ke sekolah tersebut. Sekolah  yang dulu yang akan terbawa-bawa dan dipertanyakan kredibilitas penilaiannya.
 Pilihlah sekolah yang  sesuai dengan   kemampuan siswa  dan memiliki situasi kondusif bagi anak-anak kita untuk belajar dimanapun  adanya atau apapun labelnya. Toh yang namanya kepintaran sedikit banyak ditentukan oleh anak kita sendiri. Biarpun dia dise olah yang tak berlabel, kalau  dia cerdas, dia pasti berhasil. Yang namanya  emas walaupun ada  di lumpur tetap saja emas. Tinggal peran guru yang mampu mengasah emas-emas  ini untuk  menampakkan  sinar terangnya.  Janganlah memfokuskan pada prestise , tapi lebih ke prestasi anak kita,  terlebih akhlaknya.  Mau  disekolahkan ke sekolah negeri atau swasta  pertimbangan yang utama adalah anak kita bisa  bersekolah dengan nyaman, pergaulannya  lebih baik, dan terakhir akhlaknya akan lebih baik. Toh sekarang banyak sekolah swasta yang bisa bersaing  dengan sekolah negeri dalam prestasi.  Jadi  akhlak yang utama ,  baru kecerdasan yang kedua. Miris  mendengarnya jika seorang siswa yang juara anu..juara anu..tetapi  tidak  ada kesantunan kepada orangtua  atau guru.
Bagi para orangtua yang akan mendaftarkan anak-anaknya ke SMP atau SMA/SMK, berfikirlah bijak.  Harus  ada orientasi  awal, anak saya nantinya akan ditujukan kemana. Jika  lulusan SMP ditujukan untuk bekerja, daftarkanlah ke SMEA atau SMK. Jika  lulusan SD  mau didaftarkan ke SMP. Pilihlah   sekolah  yang ‘terbaik’  yang sesuai dengan kemampuan anak kita  dan tentunya  yang paling utama   pilihlah sekolah yang bisa membentuk  karakter anak kita ke arah yang lebih baik. Sebelum didaftarkan , carilah informasi bagaimana kedisiplinan diterapkan, kegiatan beribadah  dilaksanakan  ,atau aktifitas apaun yang menunjang perkembangan  karakter dan kecerdasan anak kita , selain fasillitas  yang  ada di sekolah tersebut. Dan tentunya tidak kalah penting adalah maslah pembiayaan, apakah nanti mampu di biayai atau tidak, jangan sampai mogok di tengah jalan karena  faktor ekonomi. Tidak  usah terlalu memikirkan label yang ada, toh namanya label bisa berubah.

No comments:

Post a Comment