Tidak terasa musim pendaftaran
siswa baru atau PSB mulai bergulir. Setiap sekolah terutama swasta atau sekolah negeri berlabel SBI mulai membuka pendaftaran siswa
baru untuk tahun ajaran 2011/2012. Sejak
awal, para orang tua banyak
bertanya-tanya mau diteruskan kemana
setelah anaknya bisa lulus dari SD atau SMP . Wacana yang berkembang adalah para orangtua sangat
tertarik untuk mengikuti tren masa kini untuk memasukkan anaknya ke
sekolah RSBI (rancangan sekolah bertaraf internasional, SBI
(sekolah Bertaraf Internasional) atau minimal yang berlabel SSN (sekolah
standar Nasional). Seringkali para orangtua menanyakaan kepada para
guru kalau disarankan masuk ke
sekolah A, pastilah pertanyaannya labelnya
apa, SBI, SSN atau tanpa label (SSS = sekolah sangat sederhana..)?
Seakan-akan jika anaknya bisa masuk ke salah satu sekolah itu, seolah-olah
sudah ada jaminan akan kesuksesan belajarnya.
Ketika
anak dimasukkan ke SBI dengan segala fasilitas bertaraf
internasional, dan juga tarifnya
internasional maka hanya golongan atas
lah yang kemungkinan besar menjangkau harga
tersebut. Namun sebagian besar
orangtua dengan adanya harapan yang tinggi terhadap anaknya,
dengan segala cara berusaha memasukkkan
anak-anaknya ke sekolah yang prestisius
tersebut. Suatu kebanggaan jika anaknya beda dengan teman-temannya yang
lain. Di sekolah ini konon kabarnya kegiatan
belajar itu melebihi sekolah pada
umumnya dari segi waktu dan materi,
dengan kata pengantar bahasa
Inggris dari para guru nya. Siswanya pun sangat sedikit dalam satu kelas
seperti suasana di kursusan. Tidak mengherankan jika anak-anak di sekolah
ini termasuk yang ‘lebih’ dibanding anak kebanyakan dengan segala aktivitas
pembelajaran berbasis IT.
Namun ada miring dari
penyelengaraan sekolah ini, dari beberapa sumber mengatakan anak-anak cenderung bersifat individualism, mereka kurang banyak
bersosialisasi dengan banyak teman. Dengan kelas yang besar , anak-anak bisa
mengenal banyak karakter dari
masing-masing temannya . Dengan kelas kecil
hanya beberapa orang dalam satu kelas, anak akan berbaur dengan teman yang sedikit pula.
Apalagi jika mereka dibebani dengan tugas-tugas yang menumpuk yang hanya berhubungan dengan komputer,
kapan mereka akan lebih banyak bersosialisasi dengan‘orang’. Yang
demikian itu ditakutkan akan membuat
hubungan sosialisasi yang tidak sehat, hanya memfokuskan pada diri sendiri saja
( self-minded). Lebih lanjut, waktu
untuk ‘bermain ‘ dengan teman-temannya dengan tawa canda yang sangat diperlukan untuk perkembangan jiwanya akan terbatasi.
Demkian halnya penngenalan terhadap lingkungan sekitar kurang
mencukupi. Akibat tidak langusng dari
SBI ini adalah kurang berkembangnya bahasa daerah dengan
difokuskannya bahasa Inggris sebagai pengantar.
Oleh karena
itu bagi para orangtua janganlah terlalu memaksakan
anak-anaknya untuk daftar ke sekolah
karena labelnya. Apalagi jika kemampuan anak
tidak mencukupi prasyarat masuk.
Misalnya rata-rata raport harus minimal 70. Untuk orangtua yang ‘keukeuh’
ingin masuk ke sekolah tersebut, seringkali ada ‘tuntutan’ atau ‘usaha’
agar anaknya memiliki nilai yang cukup. Akibatnya ada semacam ‘manipulasi’ nilai terutama di akhir tingkat karena anak tersebut mau daftar ke sekolah
yang notabene RBSI atau SBI? Apalah
gunanya memaksakan keadaan jika nantinya
keadaan jadi lebih buruk.
Jika anak dengan IQ di bawah rata-rata memaksakan diri ke sekolah SBI, bagaimana
nantinya? Alih-alih lebih pintar, nanti
malahan ‘kagugusur’ oleh yang lain,
tidak bisa mengikuti irama SBI. Nanti
diselidik, kenapa anak yang nilainya besar-besar, tapi kemampuan kurang bisa
masuk ke sekolah tersebut. Sekolah yang
dulu yang akan terbawa-bawa dan dipertanyakan kredibilitas penilaiannya.
Pilihlah sekolah yang sesuai dengan kemampuan siswa dan memiliki situasi kondusif bagi anak-anak kita
untuk belajar dimanapun adanya atau
apapun labelnya. Toh yang namanya kepintaran sedikit banyak ditentukan oleh
anak kita sendiri. Biarpun dia dise olah yang tak berlabel, kalau dia cerdas, dia pasti berhasil. Yang
namanya emas walaupun ada di lumpur tetap saja emas. Tinggal peran guru
yang mampu mengasah emas-emas ini
untuk menampakkan sinar terangnya. Janganlah memfokuskan pada prestise , tapi
lebih ke prestasi anak kita, terlebih
akhlaknya. Mau disekolahkan ke sekolah negeri atau swasta pertimbangan yang utama adalah anak kita
bisa bersekolah dengan nyaman,
pergaulannya lebih baik, dan terakhir
akhlaknya akan lebih baik. Toh sekarang banyak sekolah swasta yang bisa
bersaing dengan sekolah negeri dalam
prestasi. Jadi akhlak yang utama , baru kecerdasan yang kedua. Miris mendengarnya jika seorang siswa yang juara
anu..juara anu..tetapi tidak ada kesantunan kepada orangtua atau guru.
Bagi para orangtua yang akan
mendaftarkan anak-anaknya ke SMP atau SMA/SMK, berfikirlah bijak. Harus
ada orientasi awal, anak saya
nantinya akan ditujukan kemana. Jika
lulusan SMP ditujukan untuk bekerja, daftarkanlah ke SMEA atau SMK.
Jika lulusan SD mau didaftarkan ke SMP. Pilihlah sekolah
yang ‘terbaik’ yang sesuai dengan
kemampuan anak kita dan tentunya yang paling utama pilihlah sekolah yang bisa membentuk karakter anak kita ke arah yang lebih baik.
Sebelum didaftarkan , carilah informasi bagaimana kedisiplinan diterapkan,
kegiatan beribadah dilaksanakan ,atau aktifitas apaun yang menunjang
perkembangan karakter dan kecerdasan
anak kita , selain fasillitas yang ada di sekolah tersebut. Dan tentunya tidak
kalah penting adalah maslah pembiayaan, apakah nanti mampu di biayai atau
tidak, jangan sampai mogok di tengah jalan karena faktor ekonomi. Tidak usah terlalu memikirkan label yang ada, toh
namanya label bisa berubah.
No comments:
Post a Comment