Sunday, 10 November 2019
LATE POST : TULISANKU KE FORUM GURU
Ironi Penerimaan Siswa Baru dan NEM
Masa Penerimaan siswa baru sudah berlalu baik di tingkat SMA atau SMP. Namun menyisakan beragam cerita. Yang dapat diterima di sekolah favorit atau sekolah negeri yang diinginkan, bersuka cita karena Nilai Ujian Nasional (NEM) nya melebihi passing grade. Di sisi lain, siswa yang kurang atau dibawah passing grade, kecewa karena tidak bisa diterima dan harus mencari sekolah lain. Ada yang yang menangis, ada yang ‘keukeuh’ ingin diterima dengan mencari ‘jalan lain’ selain NEM. Titip menitip, komersialisasi, kelebihan kuota seperti yang disampaikan sejumlah komunitas pendidikan seperti yang diberitakan (‘PR’, 5/7/2012) bukanlah cerita baru.
Dalam Peraturan Menteri no. 19/2007 tentang standar pengelolaan disebutkan bahwa penerimaan peserta didik sekolah/madrasah dilakukan a) secara obyektif, transparan, dan akuntabel sebagaimana tertuang dalam aturan sekolah/madrasah; b) tanpa diskriminasi atas dasar pertimbangan gender, agama, etnis, status sosial, kemampuan ekonomi bagi SD/MI, SMP/MTs penerima subsidi dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah; c) berdasar kriteria hasil ujian nasional bagi SMA/SMK, MA/MAK, dan kriteria tambahan bagi SMK/MAK; d) sesuai dengan daya tampung sekolah/madrasah. Lebih lanjut disebutkan bahwa Sekolah/Madrasah menyusun dan menetapkan petunjuk pelaksanaan operasional mengenai proses penerimaan peserta didik.
Dengan demikian, memang Nilai Ujian Nasional (NEM) menjadi salah satu ukuran dalam penerimaan siswa baru terutama di sekolah-sekolah negeri, seperti yang disebutkan di bagian c, Permen 19/2007. Namun, dalam prakteknya, besar kecilnya NEM itu tidak menjadi ukuran kecerdasan siswa. Ada siswa yang rajin, pintar dan menjadi ranking di kelasnya, namun NEM nya biasa-biasa saja. Di sisi lain, ada siswa yang semua guru tahu bagaimana kemampuan nya sehari-hari di bawah rata-rata, ber’masalah’ selama proses pembelajaran, namun anehnya NEM nya besar, bahkan lebih besar dari yang pintar. Akibatnya, yang diterima di sekolah-sekolah negeri adalah yang nilai NEM nya tinggi ini. Sedangkan, si ‘pintar’ pasrah menerima nasib masuk sekolah swasta.
Sungguh lah tidak adil, jika Nilai NEM jadi satu-satunya tolok ukur. Tes penerimaan siswa baru yang didesain oleh guru-guru di sekolah, bisa menjadi alternatif. Seperti disebutkan sebelumnya, Sekolah/Madrasah bisa menyusun dan menetapkan petunjuk pelaksanaan operasional mengenai proses penerimaan peserta didik. Dengan adanya tes buatan guru ini, diasumsikan bahwa guru lebih memahami kompetensi-kompetensi apa yang diharapkan, yang disesuaikan dengan visi misi sekolah masing-masing. Tentunya, tes inipun harus bisa diuji reliabitas dan validitasnya. Jadi, disatu sisi, dengan tes ini, menuntut guru untuk lebih kreatif dalam menyusun soal-soal yang mumpuni, di sisi lain, diharapkan bisa memberi keadilan bagi siswa-siswa yang memiliki kemampuan lebih tetapi NEM nya kecil. Tes ini akan menjadi ajang pembuktian bagaimana kemampuan mereka sebenarnya. Lebih baik lagi, kalau diadakan wawancara atau psikotes ataupun ‘unjuk kabisa’, untuk mendapatkan siswa-siswa yang terseleksi/terbaik. Jikalau hal ini dilakukan, penyaringan siswa akan lebih ketat, penyeleksian siswa lebih baik lagi sesuai kemampuan siswa itu sendiri. Memang perlu waktu dan biaya, namun tidak ada yang tidak mungkin untuk suatu perubahan yang esesnsial di bidang pendidikan. Semoga untuk kedepan, proses penerimaan siswa baru bisa lebih baik lagi, seperti yang diamanatkan Permen 19/2007, tidak menimbulkan banyak ekses dan berkeadilan.
Penulis:
TARYANAH
Guru di SMPN 1 Cangkuang dan SMK Merdeka Soreang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment