Monday, 24 April 2017

Model Kurikulum Sistemik-Suatu Analisis



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kurikulum  merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang disediakan bagi siswa di sekolah Dalam kurikulum terintegrasi  filsafat, nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan. Kurikulum disusun oleh para ahli pendidikan/ahli kurikulum, ahli bidang  ilmu, pendidik, pejabat pendidikan, pengusaha serta unsur-unsur masyarakat lainnya. Rancangan ini disusun dengan maksud  memberi pedoman kepada para pelaksana  pendidikan, dalam proses pembimbingan perkembangan siswa, mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh siswa sendiri, keluarga maupun masyarakat (Sukmadinata, 2011: 150).
Pengembangan kurikulum adalah proses penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat menjadi bahan ajar dan acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pada dasarnya pengembangan kurikulum adalah mengarahkan kurikulum yang ada  sekarang ke tujuan pendidikan yang diharapkan. Menurut Oliva (2013; 22-32) terdapat sepuluh axioma yang mendasari prinsip dalam pengembangan suatu kurikulum. Diantaranya adalah bahwa pengembangan kurikulum merupakan proses terus menerus, komprehensif, sistematik,  yang tak akan pernah selesai.
Pengembangan kurikulum merupakan konsekuensi tak terelakkan dari perubahan lingkungan, masyarakat, dan pengambil keputusan. Pengembangan kurikulum merefleksikan produk dari masa tertentu. Selayaknya pengembangan yang dilakukakan bertolak dari kurikulum yang telah ada atau exis ditengah masyarakat. Oleh karena itu pengembangan kurikulum hendaknya bersifat antisipatif, adaptif, dan aplikatif. Situasi masyarakat sekarang dan yang akan datang dapat diantisipasi, diantaranya perubahan dari masyarakat agraris ke industri. Selain itu, kemajuan ilmu pengetahuan serta informasi di era globalisasi tak mungkin dibendung.
Pada era pembangunan seperti sekarang ini, pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan link and match antara out put dengan lapangan kerja yang diperlukan. Untuk mencapai harapan terlaksananya tidak mudah. Kita harus mengetahui gap antara das Sein dan das Sollen, antara kenyataan dengan harapan, antara saya dapat dengan saya ingin. Kita ingin biasanya bersifat sangat ideal dan sulit dicapai. Untuk dapat mewujudkan harapan yang mampu dicapai itu pun perlu adanya berbagai faktor yang mendukng dan program yang aplikatif.
Sejatinya, kurikulum tidak hanya berisi serangkaian petunjuk teknis materi pembelajaran. Lebih dari itu, kurikulum merupakan sebuah program terencana dan menyeluruh, yang menggambarkan kualitas pendidikan sebuah bangsa. Dengan demikian, jelaslah bahwa kurikulum memegang peran strategis dalam kemajuan suatu bangsa, tak terkecuali bangsa Indonesia.
Pada bagian selanjutnya dari tulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai salah satu model konsep pengembangan kurikulum yang ditulis oleh John McNeil, Systemic Curriculum, dan beberapa pakar lainnya. Bagaimana konsep ini secara teoritis dapat diterapkan pada lembaga pendidikan di tanah air. Tentunya dengan tetap memperhatikan kondisi riil masyarakat kita yang memiliki karakter tersendiri yang tentu berbeda dengan negara lain, mengingat tulisan McNeil tersebut memberikan banyak contoh tentang masyarakat, lembaga pendidikan dan kurikulum di USA, tempat dimana buku tersebut ditulis.
Dengan mengetahui bagaimana  model pengembangan kurikulum sistemik dan aplikasinya diharapkan akam memberi pengetahuan, wawasan dan masukan dalam mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan konteks di Indonesia sekarang ini dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.





1.2  Tujuan dan Manfaat
Penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata  kuliah Model-model Kurikulum. Dalam makalah ini akan mengkaji tentang pengembangan kurikulum dan model kurikulum sistemik. Dengan kajian  materi tersebut, diharapkan dapat :
1.                  menambah khazanah pengetahuan sebagai seorang pendidik  tentang bagaimana  merencanakan  atau mengembangkan  suatu kurikulum.
2.                  meningkatkan pengetahuan dan wawasan kita tentang bagaimana kurikulum sistemik itu dan implementasinya sehingga bisa diambil manfaatnya untuk konteks di Indonesia.
3.                  masukan bagi guru atau pengembang kurikulum dalam mendesain suatu kurikulum baik bersifat makro maupun mikro.


1.3  Topik Bahasan dan Ruang lingkup
Dalam makalah ini akan dibahas tentang pengembangan kurikulum dan kurikulum sistemik. Dalam pengembangan  kurikulum dibahas mengenai  pengertian pengembangan kurikulum, Fungsi kurikulum, pendekatan pada pengembangan  kurikulum, fokus pengembangan  dan proses  pengembangan kurikulum. Pada bagian kedua, yakni kurikulum sistemik akan mengkaji pengertian, landasan, prinsip, sejarah historis, dan  konsekuensi dari kurikulum sistemik, yang dipaparkan secara terpadu.









BAB II
KAJIAN TEORI

2.1  Pengembangan Kurikulum
2.1.1 Pengembangan Kurikulum di Indonesia
Brady (1990; 72) menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada model kurikulum tunggal yang dikembangkan pada level sekolah. Pengembangan kurikulum dalam tataran praktis selalu bersifat campuran, tentative dan individual. Tidak ada kurikulum tunggal yang lebih baik dari yang lain dalam pengembangan kurikulum. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang membutuhkan kolaborasi dalam penerapannnya agar efektif. “No single curriculum model is better as a model for curriculum development. An effectif curriculum is to be judged more by the consistency between the curriculum elements than by the ways that consistency is achieved”.
Pernyataan diatas menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum memang sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindarkan. Hal ini dilakukan guna mencari format yang paling sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Beragam model dan konsep yang telah dikemukakan para ahli juga harus diramu dengan matang dan melalui penelitian dan uji coba yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian diharapkan dalam kurun waktu tertentu dapatlah disepakati bentuk kurikulum yang akan digunakan sesuai masanya. Seperti yang dikutip dari kemendikbud.go.id ternyata selama ini Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak 11 kali, terhitung sejak Indonesia merdeka. Yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan 2015. Perubahan kurikulum tersebut dilakukan agar kurikulum tidak ketinggalan dengan perkembangan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Di negara kita kurikulum disusun secara nasional berlaku untuk semua sekolah yang ada pada tingkatan yang sama, kurikulum SD misalnya, berlaku utuk semua sekolah dasar di Indonesia, demikian pula kurikulum SMP, SMA,SMK dan sebagainya. Jadi sifat kurikulum itu sendiri universal, berlaku umum disekolah-sekolah formal.
Semua program belajar siswa yang ada dalam kurikulum disusun oleh suatu tim nasional. Tim ini mengolah berbagai materi masukan dari berbagai pihak, disesuaikan dengan tuntutan masyarakat. Perwujudan aspirasi tentang pembinaan siswa melalui lembaga pendidikan formal itu dituangkan dalam kurikulum.
Perubahan kurikulum terakhir terjadi pada tahun 2015 yang  merupakan revisi, perbaikan, penyempurnaan dari K-13 yang sudah diluncurkan dan mendapat berbagai masukan dari berbagai pihak.

2.1.2  Prinsip-Prinsip Umum Pengembangan Kurikulum
Dalam  buku Pengembangan Kurikulum (Sukmadinata, 2011:150-151), dipaparkan prinsip-prinsip umum dalam pengembangan kurikulum, yakni:
1. Prinsip relevansi ( ke luar dan ke dalam kurikulum itu sendiri).
Relevansi ke luar maksudnya  tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan  dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan  masyarakat. Kurikulum menyiapkan siswa  untuk bisa hidup dan bekerja  dalam masyarakat. Apa yang tertuang dalam  kurikulum hendaknya  mempersiapkan  siswa untuk  kehidupannya sekarang dan di masa mendatang. Relevansi di dalam yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum, yaitu antara  tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. Relevansi internal ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.

2. Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum mempersiapkan  anak untuk kehidupan  sekarang dan masa datang, di sini dan di tempat lain, bagi anak yang memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda. Suatu kurikulum yang baik adalah kurikulum yang  berisi hal-hal yang solid, tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu maupun kemampuan,dan latar belakang anak.
3.Prinsip Kontinuitas (berkesinambungan)
Perkembangan  dan proses belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus atau berhenti-henti.
4.Prinsip Praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan  alat-alat sederhana dan biayanya murah. Prinsip ini disebut prinsip efisiensi.
5.Efektivitas. Walaupun kurikulum itu harus  praktis, namun juga keberhasilannya  tetap harus diperhatikan. Keberhasilan pelaksanaan  kurikulum ini baik  secara kuantitas maupun kualitas.
Kurikulum pada dasarnya berintikan empat aspek utama yaitu tujuan-tujuan pendidikan, isi pendidikan, pengalaman belajar dan penilaian.

2.1.3  Fungsi Kurikulum
Sebelum menyiapkan suatu rencana  kurikulum apakah  untuk suatu textbook, pelajaran, program, dokumen maupun produk, menurut  John Mc. Neill (1990:106-107), seorang pengembang  harus jelas dulu tentang fungsi  dari kurikulum itu. Ada 4 konsep  fungsi kurikulum, yaitu:
  1. pendidikan publik atau umum.  Fungsi dari pendidikan  umum terpenuhi  melalui  kurikulum yang dikembangkan  menyapa pembelajar sebagai  seorang manusia dan warga negara  yang bertanggung jawab, bukan  sebagai seorang spesialis atau seseorang  yang punya bakat khusus dan minat khusus. Pendidikan umum yang berhasil  jika setiap orang mampu  mendukung  dan berbagi dalam masyarakat. Jadi pengembang kurikulum harus memperhatikan  hasil dan pengalaman  apa yang harus  dimiliki siswa secara umum.
  2. Supplementasi/pelengkap. Individual adalah kata kuncinya. Untuk memenuhi  fungsi ini, suatu kurikulum yang dirancang  harus memenuhi pribadi-pribadi  yang memiliki  bakat dan minat tertentu untuk mampu lebih maju daripada  pribadi yang kurang.  Kurikulum tersebut bersifat personal dan individual, bukan general.
  3. Eksplorasi. Kesempatan  bagi siswa untuk menemukan  dan mengembangkan  minat personal  tergambar dari fungsi ini.  Eksplorasi memerlukan  suatu rangkaian  yang luas yang berhubungan  dengan suatu bidang, realisasi dari kemungkinan-kemungkinan lebih lanjut, dan penunjukkan bakat dan minat seseorang.
  4. spesialiasi. Fungsi ini dipenuhi  jika standar-standar yang ada dari suatu perdagangan, profesi atau akademik terpenuhi.  Para siswa diharapkan  mampu menunjukkan dirinya  sebagai seorang pekerja yang terampil atau ilmuwan. Dalam hal ini siswa memerlukan  keahlian/spesialisasi.

2.1.4 Pendekatan pada Pengembangan Kurikulum
Dalam bukunya  How to make a Curriculum tahun 1924, John Franklin Bobbit (Parkay, 2010:249) menyatakan  bahwa pengembangan  kurikulum  merupakan  proses yang sederhana dan jujur. Menurutnya, suatu kurikulum harus dikembangkan  secara ‘saintifik” dengan cara menganalisis  kegiatan  sehari-hari dari kehidupan  dan kemudian mengkreasikan  tujuan-tujuan yang  bersifat  perilaku dari kegiatan tersebut.  Berdasarkan pendekatan Bobbit, kita hanya menerapkan teori kurikulum  dan penelitian dalam proses  pengembangan  kurikulum, yang berfungsi  sebagai ‘rules of thumb’, sebagai pedoman atau aturan yang harus diikuti oleh pengembang  kurikulum.
Dalam pengembangan kurikulum, tidak ada  prosedur yang mudah untuk diikuti (Parkay, 2010:250). Banyak sekali model-model pengembangan kurikulum, namun tidak satupun  yang memberikan  jabaran langkah demi langkah dalam pengembangan  kurikulum.

2.1.5  Fokus Pengembangan Kurikulum
Dalam Parkay, dkk (2010) dijelaskan  bahwa  bagi pengembang kurikulum  harus memahami 2 dimensi  dalam pengembangan kurikulum, yakni orientasi  target  dan orientasi waktu. Target  kurikulum  bisa dalam level  mikro atau  makro (gambar 2.1).
Pada level  makro, keputusan tentang  isi kurikulum diterapkan  pada kelompok  siswa yanng lebih luas.  Tujuan nasional pendidikan dan standar  kurikulum nasional  merupakan contoh  dari  keputusan tingkat  makro.
Pada level mikro, keputusan-keputusan kurikulum  diterapkan pada kelompok siswa  di sekolah  tertentu atau kelas tertentu.  Pada titik tertentu, para guru  adalah para pengembang  kurikulum level mikro, mereka mengambil keputusan  tentang pengalaman  belajar apa  yang diberikan  bagi siswanya di kelas.
Dimensi lain  adalah orientasi  waktu, yakni apakah kurikulum itu berfokus  pada masa  kini atau masa depan? contoh pengembangan kurikulum masa depan  adalah rencana  per semester, bulanan dan unit  yang bersesuaian  dengan tujuan nasional. Pengembangan kurikulum masa kini  ada pada tingkat kelas, dan dipengaruhi  oleh kebutuhan-kebutuhab  unik dari siswa-siswa tertentu. Keputusan kurikulum  harian atau mingguan  dan RPP  merupakan contoh  dari pengembangan  kurikulum berorientasi  masa kini.
Oval: MACRO
LEVEL
Gambar 2.1












Oval: FUTURE







Oval: MICRO
LEVEL

 







Sumber :  Forrest  W. Parkay dan Beverly Standford (2007)
            Dalam pengembangan  kurikulum harus diperhatikan apakah  berfokus pada pemenuhan subjek area  atau kebutuhan  siswa. Sangatlah membantu jika kita menempatkan  suatu kurikulum sekolah  dalam kontinum, seperti berikut :
Student-centered kurikulum                                                  Subject centered kurikulum.
             Walaupun tidak sepenuhnya  suatu kurikulum itu  subject atau student centered, namun pada  tingkat  tertentu  lebih berfokus  pada salah satu.  Subject centered kurikulum  berfokus  pada susunan logis disiplin  ilmu yang akan dipelajari siswa. Guru dalam hal ini  merupakan ahli  suatu mata pelajaran dan bertujuan  membantu siswa memahami  fakta, hukum, prinsip dari disiplin ilmu. Subject centered kurikulum lebih cenderung pada pendidikan tinggi.
             Beberapa guru lebih cenderung berfokus pada siswa  dan kebutuhannya.  Meski guru  pada Student-centered kurikulum juga mengajarkan konten, namun lebih menekankan  pada pertumbuhan  dan perkembangan siswa. Penekanan ini lebih cenderung pada kurikulum sekolah dasar.

2.1.6 Proses Pengembangan Kurikulum
Proses pengembangan Kurikulum  biasanya  dimulai  dari pengujian/pengecekan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang harus ditunjukkan  siswa dalam penyelesaian  suatu unit  pembelajaran.
Berikut  adalah faktor-faktor  yang harus diperhatikan  dalam Proses Pengembangan Kurikulum  (Parkay, 2010:253) yakni :
  • keseimbangan antara pemerolehan konten dengan  penguasaan proses sesuai yang diinginkan
  • sekuens dari isi
  • pengetahuan awal siswa
  • mengidentifikasi  metode  untuk menilai  pembelajaran siswa
  • performance  jangka panjang vs jangka pendek
  • kualitas vs kuantitas
Paling minimum suatu rencana  pengembangan  dari suatu unit  pembelajaran  harus  mengandung 6 elemen, yakni:
  1. pengenalan/pendahuluan
  2. tujuan
  3. isi dari unit
  4. metode  dan kegiatan
  5. materi pengajaran dan sumber belajar
  6. penilaian  bagi pembelajaran siswa
Contoh model  pengembangan kurikulum (Murray, 1993 : 84).
Description: Description: C:\Users\ACER E5-473\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\20161104_210221.jpg

2.2  Systemic Curriculum
2.2.1  Pengertian dan Prinsip  Systemic Curriculum
Kurikulum sistemik adalah kurikulum yang memiliki keterpaduan antara bagian-bagian dan membentuk suatu sistem. John McNeil (2006: 44-57) menjelaskan secara gamblang tentang ciri-ciri kurikulum sistemik, landasan teori yang mendukungnya dan implikasi.
Salah satu ciri dari kurikulum sistemik adalah  bahwa kurikulum ini merupakan “kendaraan “ bagi efisiensi dan efektivitas  dalam menyampaikan isi/materi. Kemudian ada standar-standar yang menjadi orientasi yang paling dominan baik itu standar kompetensi, standar proses pembelajaran, standar penilaian dst. Selain itu, tujuan pembelajaran sudah dirancang  bersamaan berbagai standar yang harus dipenuhi. Evaluasi kemajuan disesuaikan dengan  tujuan instruksional, hasil-hasil tes, dan indikator-indikator lainnya.
Menurut McNeil (2005; 44-50), kurikulum ini dapat dipandang sebagai wahana yang efektif dan efisien dalam menuntaskan materi pelajaran. Berbagai program pelatihan militer, industry, dan reliji menerapkan konsep ini dalam kurikulum pembelajarannya. Keseragaman dan control merupakan ciri utama kurikulum ini. Keseragaman tersebut meliputi tujuan pembelajaran, proses, materi, dan alat evaluasi. Mastery learning (ketuntasan belajar) merupakan ciri dari sistemik kurikulum. PSI (Personalized Systemic Instruction) juga termasuk media teknologi yang banyak digunakan dalam meningkatkan pembelajaran. PSI menggunakan prinsip behavorial science yang menuntut respon aktif dari para siswa, hasil pencapaian sesegera mungkin  dan tujuan yang jelas. Evaluasi berupa tes dibuat sebelum merancang kurikulum. Dalam edisi awal bukunya McNeil mengungkapkan bahwa kurikulum ini disebut sebagai kurikulum teknologis.
Kurikulum Sistemik  dapat diterima oleh  warga Amerika karena cocok dengan  berbagai paham konvensional, salah satunya  mengangkat pentingnya  tujuan dan perencanaan  untuk menentukan apa  yang akan dicapai sesuai dengan tujuan, seiring dengan penilaian berkelanjutan.
Dalam  menentukan standar kinerja dilakukan dengan cara  guru dan siswa  memperjelas ekspektasi apa  yang ingin diwujudkan sehingga  kriterianya yang jelas. Kemudian prestasi/achievement diukur melalui  feedback, tes, modifikasi, reward, dan punishment. Sistem penilaian dalam Kurikulum Sistemik mengukur/menilai, memotivasi siswa, proses untuk mendapat perhatian siswa,  membimbing, memberi feedback dst. Dalam pelaksanaannya mengandung  elemen dari jumlah siswa dalam kelompok atau individu, alokasi waktu yang tersedia, dan pelaksanaannya kapan. Penilaian tersebut berlaku di negara bagian, distrik, untuk materi program pembelajaran  sekolah, penyiapan dan monitoring guru.
Dalam sistemik kurikulum, guru memutuskan topik kunci  dan apa yang harus dikerjakan siswa sehingga memenuhi standar yang telah ditentukan. Proses pembelajaran  dilakukan  dengan mencocokan kondisi stimulus dari kriteria based performance. Tes dibuat sebelum merancang kurikulum.

2.2.2  Landasan Kurikulum Sistemik
Landasan Psychologis dari sistemik Kurikulum didasari oleh Psikologi Behaviourism yang merupakan basisnya. Prinsip dasarnya adalah hubungan antara  stimulus, respon, dan hasil penguatan (reinforcement) menghasilkan perubahan perilaku. Kebijakan bagi states maupun distrik untuk  memberi hadiah atau menghukum sekolah maupun guru  berdasarkan hasil pencapaian mereka,merupakan contoh dari reinforcement. Ciri-ciri prinsip behaviourism yang diterapkan di kurikulum ini antara lain pelajaran menghapal  di kelas oleh guru, mengkoreksi atau mengaffirmasi feedback, membedakan jenis-jenis hasil pembelajaran ( sederhana, kompleks, rendah, tinggi), task analisis yakni menganalisis  tugas konpleks  menjadi unit-unit yang bisa dikelola, sekuens pembelajaran  dari parts to whole ( bagian ke  keseluruhan), pembelajaran langsung dengan  arahan yang jelas, contoh  dan kesempatan untuk  praktek dan menerapkan apa yang sudah dipelajari.
Psikologi Kognitif dan teori information processing juga mempengaruhi dalam hal  memperhatikan bagaimana kepercayaan siswa/ students’belief mempengaruhi pembelajaran dan bagaimana konsep berfikir terjadi. Salah satu implikasi dari psikologi kognitif dalam kurikulum sistemik adalah mengakomodasi informasi baru ke dalam skema-skema yang ada, mengetahui  kapan dan dimana menerapkan pengetahuan dan strategi, memilah-milah informasi  menjadi unit-unit yang bermakna, pemodelan melalui simulasi, flowchart, dll.
Social constructivism juga berpengaruh dalam hal partisipasi dalam pembelajaran yang responsif terhadap  pengetahuan tentatif, konflik dalam pemahaman dan kepercayaan siswa   yang dibawa ke sekolah,  pengakuan bahwa anak-anak  memiliki  kemampuan untuk terlibat dalam tingkatan pemikiran yang rumit.
Kurikulum sistemik akan lemah  ketika asumsi psikologis  dan teori pembelajaran tidak selaras.  Ketika sebagian besar standar negara  bergantung pada konsep behaviourism dan cognitivism, maka untuk psikologi konstruktivism lebih cocok pada standar nasional  bagi sains dan matematika, yang berfokus pada ide-ide pokok.

2.2.3  Sejarah Timbulnya Kurikulum Sistemik
McNeil (2006, 52-54) juga mendeskripsikan  sejarah timbulya kurikulum sistemik. Pada awalnya, pada abad 16,  sekolah Jesuit/Pastor melaksanakan kurikulum ini dalam  pengajaran classical liberal arts, filosofi dan teologi, yang bertujuan untuk membentuk Kristiani yang ideal dan memiliki kepemimpinan dalam kewarganegaraan, perdagangan, dan urusan pengadilan. Sampai 1890, Inggris dan Irlandia mengaplikasikan kurikulum ini. Mereka membayar sekolah dan para guru berdasarkan persentase  para siswa yang lulus  pada mata pelajaran tertentu. Konsekuensinya antara lain silabus sudah ditentukan dan pengajaran ditujukan untuk menghadapi ujian akhir, pengajaran guru lebih pada siswa di level menengah, dibanding siswa di level atas atau kelas bawah. Pada akhir tahun 1800-an, tes tertulis mulai diganti dengan tes lisan dalam menentukan  ketuntasan siswa.
Pemerintah juga membayar para pemeriksa  tes tahunan dalam tes membaca, menulis, aritmatika, grammar, dan geografi. Antara 1930-1940, ada pengembangan dari bidang-bidang studi, pedoman dan kerangka kurikulum. Pada tahun 1960-an, ada perubahan dalam sistemik kurikulum.
Pada awal  tahun 1900-an, tes masih digunakan  dalam menilai efisiensi dari para guru dan sekolah. Namun pada tahun 1930-an  hakekat dan tujuan  dari tes mulai berubah, dari menilai guru dan sekolah menjadi menilai siswa. Tujuan tes adalah untuk  mendiagnosa kekuatan dan kelemahan dari para siswa, menempatkan siswa  pada kelas atau grup yang tepat, dan memberi skor/nilai. Karena sekolah  mulai melaksanakan lebih banyak tujuan  dalam menyiapkan siswa  pada  kehidupannya, maka kurikulum standar mulai hilang  dan pembedaan kurikulum  merupakan  suatu norma  antara  masing-masing sekolah dan kelas.
Ada usaha kuat untuk memperkuat kurikulum dengan  program-program berbagaii disiplin ilmu, yang melibatkan siswa dalam berbagai kegiatan, yang mencerminkan praktek scientist dan para ilmuan dalam berbagai displin ilmu. Bentuk pembelajarannya  berupa modul, script lesson,  computer-assisted instruction, yang mengurangi peran guru.
Sistemik kurikulum menghadapi beberapa hambatan, antara lain bagaimana mengukur standar dan kemajuan pencapaian prestasi sesuai dengan  tujuan yang ditetapkan.Seringkali ada ketidaksesuaian dan invalid pengukuran. Einstein’s Quote “ Not Everything can be counted counts, and not everything  that counts, can be counted “
Pada tahun 1970-an, ada kegagalan dari program karena“Too many targets turned out to be no targets at all”. Masalah serius muncul ketika  terlalu banyak standar  yang ditetapkan oleh states. Praktek meletakan taxonomi apa yang  harus diajarkan pada level yang berbeda-beda dipertanyakan publik.
Selian itu, daftar materi  dan keterampilan disebar  menjadi terpisah-pisah yang membuat kurang koordiasi  antara mata pelajaran  dan pemisahan dari konsep kunci. Muncullah reformasi sistemik kurikulum dalam merespon hal ini. Publik mendukung untuk mengukur hasil dari kurikulum, sekolah maupun guru secara akuntabel. Akuntabilitas dipandang  sangat penting untuk memperbaiki kurikulum  dan menjamin kualitas kurikulum. Ada tuntutan yang meningkat berdasarkan bukti penelitian  bahwa  program kurikulum tertentu  itu efektif dan  berkelanjutan dalam konteks tertentu.

2.2.4  Konsekuensi dari Kurikulum Sistemik
Reformasi kurikulum sistemik  muncul setelah  20 tahun  Komisi Pendidikan Nasional Amerika (NCE) melaporkan laporan “Nation at Risk” yang menganjurkan suatu reformasi dalam kurikulum  dan menyalahkan  pendidikan menengah atas kurangnya tujuan dasar dan  terlalu sering menyarankan  suatu kurikulum yang beragam. Pada laporan tahun 2003 ditunjukkan pada publik akan pentingnya  standar yang lebih tepat  dan persyaratan yang lebih tinggi untuk kelulusan siswa yang mana mereka menunjukkan  kemampuan yang solid dalam Bahasa Inggris, matematika, sains dan ilmu-ilmu sosial.
Reformasi sistemik juga menginginkan  agar setiap sekolah atau pelayanan pendidikan publik di semua negara bagian  mengikuti standar akademik yang umum, mempublikasikan rekaman/laporannya, dan memberi orangtua  hak untuk memilih sekolah atau lembaga yang menurut mereka paling tepat untuk putra putrinya.
Tes juga berpengaruh pada guru untuk  menggunakan berbagai ragam metode misalnya pembelajaran keseluruhan, kooperatif learning dll yang dituntut dalam tes. Tes menjadi medium dimana standar kurikulum ditafsirkan. Guru akan menghilangkan konten yang tidak diperlukan, memberi penekanan pada topik-topik penting, dan lebih mengajarkan pada  keterampilan seperti menulis dan  berfikir kritis.
Pandangan para guru akan kurikulum berbasis standar  akan berbeda satu sama lain tergantung pada waktu dan efektifitasnya. Guru hebat akan menuntut suatu otonomi. Guru yang baik menginginkan struktur namun masih mencari celah untuk merespon bakat dan minat siswa. Sedangkan guru pemula akan  menyambut baik  script lesson, guiding questions, saran dan kegiatan pembelajaran bagi siswa, dan menggunakan materi untuk menilai  kemajuan siswa.

Dalam konteks pelaksanaan di Indonesia, Kurikulum yang diterapkan sifatnya eklektik, tidak semua faham behaviorisme, humanisme subject akademik diterapkan. Namun ada bagian-bagian tertentu yang diadopsi dan diterapkan diIndonesia sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan yang ada. Salah satu sistem kurikulum sistemik yang paling dominan adalah KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), dengan adany standar kompetensi, standar penilaian dan standar-standar lainnya yang harus dipenuhi oleh siswa.
Sistemik kurikulum sering pula disebut kurikulum  teknologis, bersifat holistik, yang terdiri dari dua komponen atau lebih  yang memiliki relasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.















BAB III
PEMBAHASAN
Systemic curriculum dapat ditemukan dalam banyak konteks.  Menurut McNeil (2005; 44-50), kurikulum ini dapat dipandang sebagai wahana yang efektif dan efisien dalam menuntaskan materi pelajaran. Berbagai program pelatihan militer, industry, dan reliji menerapkan konsep ini dalam kurikulum pembelajarannya karena keseragaman dan control merupakan ciri utama kurikulum ini. Keseragaman tersebut meliputi tujuan pembelajaran, proses, materi, dan alat evaluasi.
Selain itu, Mastery learning (ketuntasan belajar) merupakan ciri dari sistemik kurikulum. PSI (Personalized Systemic Instruction) juga termasuk media teknologi yang banyak digunakan dalam meningkatkan pembelajaran. PSI menggunakan prinsip behavorial science yang menuntut respon aktif dari para siswa, hasil pencapaian sesegera mungkin  dan tujuan yang jelas. Evaluasi berupa tes dibuat sebelum merancang kurikulum. Dalam edisi awal bukunya McNeil mengungkapkan bahwa kurikulum ini disebut sebagai kurikulum teknologis.
Orientasi kurikulum ini fokus pada standard-based curriculum (kurikulum berbasis standar). Pengembangkan  perencanaan pembelajaran berdasarkan standar yang telah ditentukan. Dan dinilai berdasarkan standar isi dan kinerja. Topik kunci dirancang dan apa yang harus dikerjakan siswa sehingga memenuhi standar yang telah ditentukan. Proses pembelajaran  dilakukan  dengan mencocokkan kondisi stimulus dari kriteria based performance.
Menelusuri akar teori psikologi yang digunakan dalam konsep systemic curriculum jelaslah bahwa McNeil dengan gamblang mengungkapkan bahwa behaviourism merupakan dasar psikologisnya. Prinsip dasar yang utama adalah hubungan antara  stimulus, respon, dan hasil penguatan (reinforcement) dapat menghasilkan perubahan perilaku. Kebijakan bagi states maupun distrik untuk  memberi hadiah atau menghukum sekolah maupun guru berdasarkan hasil pencapaan mereka, merupakan contoh dari reinforcement. Psikologi kognitif dan teori information processing juga mempengaruhi dalam hal memperhatikan bagaimana kepercayaan siswa (students’belief) mempengaruhi pembelajaran dan bagaimana konsep berfikir terjadi.
Selanjutnya McNeil mengungkapkan bahwa di USA, berbagai kosekuensi muncul dengan penerapan konsep ini. Masalah serius muncul ketika  terlalu banyak standar  yang ditetapkan oleh Negara-negara bagian. Dalam prakteknya meletakan taxonomi apa yang  harus diajarkan pada level yang berbeda-beda dipertanyakan publik. Selain itu, daftar materi  dan keterampilan disebar  menjadi terpisah-pisah yang membuat kurang koordiasi  antara mata pelajaran  dan pemisahan dari konsep kunci.
Akhirnya muncullah reformasi sistemik kurikulum dalam merespon hal ini. Publik mendukung untuk mengukur hasil dari kurikulum, sekolah maupun guru secara akuntabel. Akuntabilitas dipandang  sangat penting untuk memperbaiki kurikulum  dan menjamin kualitas kurikulum. Ada tuntutan yang meningkat berdasarkan bukti penelitian  bahwa  program kurikulum tertentu  itu efektif dan  berkelanjutan dalam konteks tertentu.
Mari kita bandingkan dengan pendapat dari buku Ornstein (1998; 5) yang mengatakan bahwa salah satu pendekatan dalam pengembangan kurikulum adalah systems approach. Dikatakan bahwa pendekatan ini dipengaruhi oleh teori, analisis, dan rekayasa sistem. Militer, industry, dan bisnis merupakan pengguna utama dari pendekatan ini. Tampaknya pendapat ini selaras dengan yang ditulis oleh McNeil sebagai systemic curriculum.
Pendapat lain yang senada muncul dari model sistematik J. Romszowski. Model ini juga menggunakan pendekatan system ( system Approach ). Pendekatan sistemik dalam pengembangan suatu kurikulum adalah suatu pendekatan yang menitikberatkan pada struktur dan keteraturan yang direncanakan sejak awal untuk menghasilkan sesuatu yang spesifik. Model sistemik ini dapat digunakan untuk mengembangkan program pendidikan, kurikulum, desain pembelajaran, dan desain program pelatihan.
Jika McNeil hanya membahas secara konsep maka J. Romszowski lebih terperinci menjadikan Systemic curriculum ini sebagai sebuah model pengembangan dengan prosedur yang lebih sistematis. Dia menawarkan prosedur  pengembangan kurikulum model sistemik ini dilakukan dengan 14 langkah, yaitu Deskripsi tugas, analisis tugas, menetapkan kemampuan, spesifikasi kemampuan, kebutuhan pendidikan dan latihan, organisasi dan isi, pemilihan strategi pembelajaran, uji coba program, evaluasi, implementasi program, monitoring, perbaikan dan penyesuaian.
 Berdasarkan berbagai definisi dan pendapat para ahli diatas, tampaknya penggunaan model ini dapat menjadi tawaran alternatif dalam penyusunan kurikulum pada pendidikan vokasi atau kejuruan di Indonesia. Hal ini dikarenakan pada jenis pendidikan ini perlu dengan jelas diukur kemampuan di tingakat satuan pendidikan khususnya pada Sekolah Menengah Kejuruan.
Penerapan model ini akan menjadi suatu ciri khas satuan pendidikan melalui penyusunan desain Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) sebagai kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Walaupun era K-13 sudah berlaku tetapi sebenarnya prinsip KTSP tetap berlaku di Indonesia saat ini. Dimana setiap satuan pendidikan tetap diberikan kewenangan dalam menentukan implementasi kurikulumnya.
Sistemik kurikulum lebih tergambar dalam  Kurikulum Pendidikan Vokasi (Kejuruan). Upaya untuk menghasilkan lulusan pendidikan vokasi (kejuruan) yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja, perlu didukung dengan kurikulum yang dirancang dan dikembangkan dengan memperhatikan kebutuhan dunia kerja.
Secara konseptual kurikulum SMK berada pada posisi model kurikulum teknologis, Model Kurikulum teknologis atau sering juga disebut sebagai kurikulum kompetensi, yakni kurikulum mengarahkan pada pemuatan isi sesuai dengan tuntutan kehidupan (pekerjaan), isi kurikulum disesuaikan dengan tututan pekerjaan hidup (life skills), mata pelajaran disusun berdasarkan karakteristik kompetensi yang perlu dikuasai, model pembelajaran tuntas lebih banyak digunakan pada model kurikulum ini, evaluasi pembelajaran diarahkan pada keterampilan hidup, dan siswa dipandang sebagai calon orang dewasa.
Sistemic currikulum yang diungkap sebagai konsep oleh McNeil dan disertakan langkah-langkah implementasinya oleh Romiszowski, dapat diuraikan sebagai alternative penyususnan kurikulum pendidikan kejuruan, khususnya di Indonesia.
Model sistematik Romiszowski menerapkan salah satu pendekatan sistem (system Approach). Pendekatan sistematik dalam mengembangkan suatu kurikulum adalah suatu pendekatan yang menitikberatkan pada struktur dan keteraturan yang direncanakan sejak awal untuk menghasilkan hal-hal yang spesifik. Senada dengan hal tersebut, Hamalik (2000:68-70), menyatakan bahwa “model sistematik ini dapat digunakan untuk mengembangkan program pendidikan, kurikulum, desain pembelajaran, dan desain program pelatihan”.
Pengembangan kurikulum dalam tulisan ini selain mengacu pada consep McNel, juga didasarkan pada 14 langkah pengembangan kurikulum J. Romiszowski. sebagai berikut: deskripsi tugas, analisis tugas, menetapkan kemampuan, spesifikasi kemampuan, kebutuhan pendidikan dan latihan, perumusan tujuan kompetensi/kemampuan, kriteria keberhasilan, organisasi dan isi, pemilihan strategi pengajaran, uji coba program, evaluasi, implementasi program, monitoring, dan perbaikan dan penyesuaian (feedback).
Kurikulum kejuruan sebenarnya berpusat pada subject, yaitu berupa mata pelajaran yang terpisah pisah, yang secara logis materi yang diberikan adalah mata pelajaran yang dianggap penting dapat mengembangkan kemampuan matematika, fisika, bahasa, kimia (adaptif) yang diajarkan dan materi yang berkenaan dengan emosi, seperti seni rupa, olah raga, agama (normatif), diberikan untuk mendukung pencapaian penguasaan kompetensi kejuruan (produktif). Implikasinya guru hendaknya merupakan orang yang menguasai suatu cabang ilmu, ahli (a master teacher) yang bertugas membimbing untuk memudahkan siswa menyimpulkan materi.






BAB IV
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
Dalam proses pengembangan  kurikulum biasanya dimulai  dari pengujian/pengecekan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang harus ditunjukkan  siswa dalam penyelesaian  suatu unit  pembelajaran. Pada dasarnya pengembangan kurikulum adalah mengarahkan kurikulum yang ada sekarang ke tujuan pendidikan yang diharapkan.
Dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan  orientasi  target dan waktu,  dan fokus pada student centered  atau subject centered.
Kurikulum sistemik adalah kurikulum yang memiliki keterpaduan antara bagian-bagian dan membentuk suatu sistem. Keseragaman dan control merupakan ciri utama kurikulum ini. Keseragaman tersebut meliputi tujuan pembelajaran, proses, materi, dan alat evaluasi. Selain itu, Mastery learning (ketuntasan belajar) merupakan ciri dari sistemik kurikulum. PSI (Personalized Systemic Instruction) juga termasuk media teknologi yang banyak digunakan dalam meningkatkan pembelajaran. PSI menggunakan prinsip behavorial science yang menuntut respon aktif dari para siswa, hasil pencapaian sesegera mungkin  dan tujuan yang jelas.
Orientasi kurikulum ini fokus pada standard-based curriculum (kurikulum berbasis standar). Pengembangkan  perencanaan pembelajaran berdasarkan standar yang telah ditentukan. Dan dinilai berdasarkan standar isi dan kinerja. Topik kunci dirancang dan apa yang harus dikerjakan siswa sehingga memenuhi standar yang telah ditentukan. Proses pembelajaran  dilakukan  dengan mencocokkan kondisi stimulus dari kriteria based performance.
Jika McNeil hanya membahas secara konsep maka J. Romszowski lebih terperinci menjadikan Systemic curriculum ini sebagai sebuah model pengembangan dengan prosedur yang lebih sistematis. Jadi penggunaan model kurikulum sistemik ini dapat menjadi tawaran alternatif dalam penyusunan kurikulum pada pendidikan vokasi atau kejuruan di Indonesia. Hal ini dikarenakan pada jenis pendidikan ini perlu dengan jelas diukur kemampuan di tingakat satuan pendidikan khususnya pada Sekolah Menengah Kejuruan.
Penerapan model ini akan menjadi suatu ciri khas satuan pendidikan melalui penyusunan desain Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) sebagai kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Walaupun era K-13 sudah berlaku tetapi sebenarnya prinsip KTSP tetap berlaku di Indonesia saat ini. Dimana setiap satuan pendidikan tetap diberikan kewenangan dalam menentukan implementasi kurikulumnya.


4.2   Saran

Penulis menyadari jika dalam tulisan ini masih banyak kekurangan. Karena itu penulis berharap masukan dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini. Selain itu, bagi para guru maupun pengembang  kurikulum,  dalm pengembangan suatu model kurikulum perlu memperhatikan landasan teori yang mendukungnya sehingga harus didesain sebaik mungkin demi  terlaksananya  suatu kurikulum yang  antisipatif, adaptif, dan aplikatif.









Daftar Pustaka

Brady, Laurie Cirriculum Development,  Prentice Hall, Victoria, 1990

Hamalik, Omar, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara, 2003
McNeil, John D. Contemporary Curriculum in Thought and  Action, John Wiley & Sons, Inc, USA, 2006

Oliva, Peter F. & William R. Gordon, II, Developing the Curriculum, PEARSON, USA, 2013

Ornstein, Allan C & Francis P. Hunkins, Curriculum: Foundation, Principles  and Issues, Allyn and Bacon , Boston,  1998

Parkay, W. Forrest; Glen J Hass and Eric J. Anctil. Curriculum  Leadership. Ninth  Edition. Boston: Pearson.2010

Print, Murray Curriculum Development and Design, Allen & Unwi, Sydney, 1993

Romiszowski, A J Designing Instructional Systems: Decision Making in Cours Planning and Curriculum Design, Kogan Page, New York, 1981

Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2011.


1 comment: