BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum
semua pengalaman belajar yang disediakan bagi siswa di sekolah Dalam kurikulum
terintegrasi filsafat, nilai-nilai,
pengetahuan, dan perbuatan pendidikan. Kurikulum disusun oleh para ahli
pendidikan/ahli kurikulum, ahli bidang
ilmu, pendidik, pejabat pendidikan, pengusaha serta unsur-unsur
masyarakat lainnya. Rancangan ini disusun dengan maksud memberi pedoman kepada para pelaksana pendidikan, dalam proses pembimbingan
perkembangan siswa, mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh siswa sendiri,
keluarga maupun masyarakat (Sukmadinata, 2011: 150).
Pengembangan kurikulum
adalah proses penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum
developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat
menjadi bahan ajar dan acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional.
Pada dasarnya
pengembangan kurikulum adalah mengarahkan kurikulum yang ada sekarang ke tujuan pendidikan yang
diharapkan. Menurut Oliva (2013; 22-32) terdapat sepuluh axioma yang mendasari
prinsip dalam pengembangan suatu kurikulum. Diantaranya adalah bahwa
pengembangan kurikulum merupakan proses terus menerus, komprehensif, sistematik, yang tak akan pernah selesai.
Pengembangan kurikulum merupakan konsekuensi
tak terelakkan dari perubahan lingkungan, masyarakat, dan pengambil keputusan.
Pengembangan kurikulum merefleksikan produk dari masa tertentu. Selayaknya
pengembangan yang dilakukakan bertolak dari kurikulum yang telah ada atau exis
ditengah masyarakat. Oleh karena itu pengembangan kurikulum hendaknya bersifat
antisipatif, adaptif, dan aplikatif. Situasi masyarakat sekarang dan yang akan
datang dapat diantisipasi, diantaranya perubahan dari masyarakat agraris ke industri. Selain itu, kemajuan ilmu pengetahuan serta
informasi di era globalisasi tak mungkin dibendung.
Pada era pembangunan seperti sekarang ini,
pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan link and match antara
out put dengan lapangan kerja yang diperlukan. Untuk mencapai harapan
terlaksananya tidak mudah. Kita harus mengetahui gap antara das Sein dan
das Sollen, antara kenyataan dengan harapan, antara saya dapat dengan
saya ingin. Kita ingin biasanya bersifat sangat ideal dan sulit dicapai. Untuk
dapat mewujudkan harapan yang mampu dicapai itu pun perlu adanya berbagai faktor
yang mendukng dan program yang aplikatif.
Sejatinya, kurikulum tidak hanya berisi
serangkaian petunjuk teknis materi pembelajaran. Lebih dari itu, kurikulum
merupakan sebuah program terencana dan menyeluruh, yang menggambarkan kualitas
pendidikan sebuah bangsa. Dengan demikian, jelaslah bahwa kurikulum memegang
peran strategis dalam kemajuan suatu bangsa, tak terkecuali bangsa Indonesia.
Pada bagian selanjutnya dari tulisan ini akan
dibahas lebih lanjut mengenai salah satu model konsep pengembangan kurikulum yang
ditulis oleh John McNeil, Systemic Curriculum, dan beberapa pakar
lainnya. Bagaimana konsep ini secara teoritis dapat diterapkan pada lembaga
pendidikan di tanah air. Tentunya dengan tetap memperhatikan kondisi riil
masyarakat kita yang memiliki karakter tersendiri yang tentu
berbeda dengan negara lain, mengingat tulisan McNeil tersebut memberikan
banyak contoh tentang masyarakat, lembaga pendidikan dan kurikulum di USA,
tempat dimana buku tersebut ditulis.
Dengan mengetahui
bagaimana model pengembangan kurikulum
sistemik dan aplikasinya diharapkan akam memberi pengetahuan, wawasan dan
masukan dalam mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan konteks di Indonesia
sekarang ini dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
1.2 Tujuan dan Manfaat
Penulisan makalah ini
ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Model-model Kurikulum. Dalam makalah
ini akan mengkaji tentang pengembangan kurikulum dan model kurikulum sistemik.
Dengan kajian materi tersebut,
diharapkan dapat :
1.
menambah khazanah pengetahuan sebagai seorang pendidik tentang bagaimana merencanakan
atau mengembangkan suatu kurikulum.
2.
meningkatkan pengetahuan dan wawasan kita tentang bagaimana kurikulum
sistemik itu dan implementasinya sehingga bisa diambil manfaatnya untuk konteks
di Indonesia.
3.
masukan bagi guru atau pengembang kurikulum dalam mendesain suatu kurikulum
baik bersifat makro maupun mikro.
1.3
Topik Bahasan dan Ruang lingkup
Dalam makalah ini akan
dibahas tentang pengembangan kurikulum dan kurikulum sistemik. Dalam
pengembangan kurikulum dibahas
mengenai pengertian pengembangan
kurikulum, Fungsi kurikulum, pendekatan pada pengembangan kurikulum, fokus pengembangan dan proses
pengembangan kurikulum. Pada bagian kedua, yakni kurikulum sistemik akan
mengkaji pengertian, landasan, prinsip, sejarah historis, dan konsekuensi dari kurikulum sistemik, yang
dipaparkan secara terpadu.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengembangan Kurikulum
2.1.1 Pengembangan Kurikulum di
Indonesia
Brady (1990; 72) menyatakan bahwa sebenarnya
tidak ada model kurikulum tunggal yang dikembangkan pada level sekolah.
Pengembangan kurikulum dalam tataran praktis selalu bersifat campuran,
tentative dan individual. Tidak ada kurikulum tunggal yang lebih baik dari yang
lain dalam pengembangan kurikulum. Masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan yang membutuhkan kolaborasi dalam penerapannnya agar efektif. “No
single curriculum model is better as a model for curriculum development. An
effectif curriculum is to be judged more by the consistency between the
curriculum elements than by the ways that consistency is achieved”.
Pernyataan diatas menunjukkan bahwa
pengembangan kurikulum memang sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindarkan.
Hal ini dilakukan guna mencari format yang paling sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan zaman. Beragam model dan konsep yang telah dikemukakan para ahli
juga harus diramu dengan matang dan melalui penelitian dan uji coba yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian diharapkan dalam kurun waktu tertentu dapatlah
disepakati bentuk kurikulum yang akan digunakan sesuai masanya. Seperti yang dikutip dari kemendikbud.go.id ternyata selama
ini Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak 11 kali, terhitung sejak
Indonesia merdeka. Yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,
2004, 2006, 2013, dan 2015. Perubahan kurikulum tersebut dilakukan agar
kurikulum tidak ketinggalan dengan perkembangan masyarakat, termasuk ilmu
pengetahuan dan teknologinya.
Di negara kita kurikulum
disusun secara nasional berlaku untuk semua sekolah yang ada pada tingkatan
yang sama, kurikulum SD misalnya, berlaku utuk semua sekolah dasar di
Indonesia, demikian pula kurikulum SMP, SMA,SMK dan sebagainya. Jadi sifat
kurikulum itu sendiri universal, berlaku umum disekolah-sekolah formal.
Semua program belajar
siswa yang ada dalam kurikulum disusun oleh suatu tim nasional. Tim ini
mengolah berbagai materi masukan dari berbagai pihak, disesuaikan dengan
tuntutan masyarakat. Perwujudan aspirasi tentang pembinaan siswa melalui
lembaga pendidikan formal itu dituangkan dalam kurikulum.
Perubahan kurikulum terakhir terjadi pada tahun 2015
yang merupakan revisi, perbaikan,
penyempurnaan dari K-13 yang sudah diluncurkan dan mendapat berbagai masukan
dari berbagai pihak.
2.1.2
Prinsip-Prinsip Umum Pengembangan Kurikulum
Dalam buku Pengembangan Kurikulum (Sukmadinata,
2011:150-151), dipaparkan prinsip-prinsip umum dalam pengembangan kurikulum,
yakni:
1. Prinsip relevansi ( ke luar dan ke dalam
kurikulum itu sendiri).
Relevansi ke luar
maksudnya tujuan, isi, dan proses
belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Kurikulum menyiapkan siswa untuk bisa hidup dan bekerja dalam masyarakat. Apa yang tertuang dalam kurikulum hendaknya mempersiapkan
siswa untuk kehidupannya sekarang
dan di masa mendatang. Relevansi di dalam yaitu ada kesesuaian atau konsistensi
antara komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan
penilaian. Relevansi internal ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.
2. Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan masa datang, di sini dan di
tempat lain, bagi anak yang memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda.
Suatu kurikulum yang baik adalah kurikulum yang
berisi hal-hal yang solid, tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan
terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu maupun
kemampuan,dan latar belakang anak.
3.Prinsip Kontinuitas (berkesinambungan)
Perkembangan
dan proses belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak
terputus-putus atau berhenti-henti.
4.Prinsip Praktis, mudah
dilaksanakan, menggunakan alat-alat
sederhana dan biayanya murah. Prinsip ini disebut prinsip efisiensi.
5.Efektivitas. Walaupun
kurikulum itu harus praktis, namun juga
keberhasilannya tetap harus
diperhatikan. Keberhasilan pelaksanaan
kurikulum ini baik secara
kuantitas maupun kualitas.
Kurikulum pada dasarnya berintikan empat aspek
utama yaitu tujuan-tujuan pendidikan, isi pendidikan, pengalaman belajar dan
penilaian.
2.1.3 Fungsi Kurikulum
Sebelum menyiapkan suatu
rencana kurikulum apakah untuk suatu textbook, pelajaran, program,
dokumen maupun produk, menurut John Mc.
Neill (1990:106-107), seorang pengembang
harus jelas dulu tentang fungsi
dari kurikulum itu. Ada 4 konsep
fungsi kurikulum, yaitu:
- pendidikan publik atau umum. Fungsi dari pendidikan umum terpenuhi melalui kurikulum yang dikembangkan menyapa pembelajar sebagai seorang manusia dan warga negara yang bertanggung jawab, bukan sebagai seorang spesialis atau seseorang yang punya bakat khusus dan minat khusus. Pendidikan umum yang berhasil jika setiap orang mampu mendukung dan berbagi dalam masyarakat. Jadi pengembang kurikulum harus memperhatikan hasil dan pengalaman apa yang harus dimiliki siswa secara umum.
- Supplementasi/pelengkap. Individual adalah kata kuncinya. Untuk memenuhi fungsi ini, suatu kurikulum yang dirancang harus memenuhi pribadi-pribadi yang memiliki bakat dan minat tertentu untuk mampu lebih maju daripada pribadi yang kurang. Kurikulum tersebut bersifat personal dan individual, bukan general.
- Eksplorasi. Kesempatan bagi siswa untuk menemukan dan mengembangkan minat personal tergambar dari fungsi ini. Eksplorasi memerlukan suatu rangkaian yang luas yang berhubungan dengan suatu bidang, realisasi dari kemungkinan-kemungkinan lebih lanjut, dan penunjukkan bakat dan minat seseorang.
- spesialiasi. Fungsi ini dipenuhi jika standar-standar yang ada dari suatu perdagangan, profesi atau akademik terpenuhi. Para siswa diharapkan mampu menunjukkan dirinya sebagai seorang pekerja yang terampil atau ilmuwan. Dalam hal ini siswa memerlukan keahlian/spesialisasi.
2.1.4
Pendekatan pada Pengembangan Kurikulum
Dalam bukunya How to make a Curriculum tahun 1924,
John Franklin Bobbit (Parkay, 2010:249) menyatakan bahwa pengembangan kurikulum
merupakan proses yang sederhana
dan jujur. Menurutnya, suatu kurikulum harus dikembangkan secara ‘saintifik” dengan cara
menganalisis kegiatan sehari-hari dari kehidupan dan kemudian mengkreasikan tujuan-tujuan yang bersifat
perilaku dari kegiatan tersebut.
Berdasarkan pendekatan Bobbit, kita hanya menerapkan teori kurikulum dan penelitian dalam proses pengembangan
kurikulum, yang berfungsi sebagai
‘rules of thumb’, sebagai pedoman atau aturan yang harus diikuti oleh
pengembang kurikulum.
Dalam pengembangan
kurikulum, tidak ada prosedur yang mudah
untuk diikuti (Parkay, 2010:250). Banyak sekali model-model pengembangan
kurikulum, namun tidak satupun yang
memberikan jabaran langkah demi langkah
dalam pengembangan kurikulum.
2.1.5 Fokus Pengembangan Kurikulum
Dalam Parkay, dkk (2010) dijelaskan bahwa
bagi pengembang kurikulum harus
memahami 2 dimensi dalam pengembangan
kurikulum, yakni orientasi target dan orientasi waktu. Target kurikulum
bisa dalam level mikro atau makro (gambar 2.1).
Pada level makro, keputusan tentang isi kurikulum diterapkan pada kelompok
siswa yanng lebih luas. Tujuan
nasional pendidikan dan standar
kurikulum nasional merupakan
contoh dari keputusan tingkat makro.
Pada level mikro,
keputusan-keputusan kurikulum diterapkan
pada kelompok siswa di sekolah tertentu atau kelas tertentu. Pada titik tertentu, para guru adalah para pengembang kurikulum level mikro, mereka mengambil
keputusan tentang pengalaman belajar apa
yang diberikan bagi siswanya di
kelas.
Dimensi lain
adalah orientasi waktu, yakni
apakah kurikulum itu berfokus pada
masa kini atau masa depan? contoh
pengembangan kurikulum masa depan adalah
rencana per semester, bulanan dan
unit yang bersesuaian dengan tujuan nasional. Pengembangan
kurikulum masa kini ada pada tingkat
kelas, dan dipengaruhi oleh
kebutuhan-kebutuhab unik dari
siswa-siswa tertentu. Keputusan kurikulum
harian atau mingguan dan RPP merupakan contoh dari pengembangan kurikulum berorientasi masa kini.
Gambar 2.1
Sumber : Forrest
W. Parkay dan Beverly Standford (2007)
Dalam pengembangan kurikulum harus diperhatikan apakah berfokus pada pemenuhan subjek area atau kebutuhan siswa. Sangatlah membantu jika kita
menempatkan suatu kurikulum sekolah dalam kontinum, seperti berikut :
Student-centered
kurikulum
Subject centered kurikulum.
Walaupun tidak sepenuhnya suatu
kurikulum itu subject atau student
centered, namun pada tingkat tertentu
lebih berfokus pada salah
satu. Subject centered kurikulum berfokus
pada susunan logis disiplin ilmu
yang akan dipelajari siswa. Guru dalam hal ini
merupakan ahli suatu mata pelajaran
dan bertujuan membantu siswa
memahami fakta, hukum, prinsip dari
disiplin ilmu. Subject centered kurikulum lebih cenderung pada pendidikan
tinggi.
Beberapa guru lebih cenderung berfokus pada siswa dan kebutuhannya. Meski guru
pada Student-centered kurikulum juga mengajarkan konten, namun lebih
menekankan pada pertumbuhan dan perkembangan siswa. Penekanan ini lebih
cenderung pada kurikulum sekolah dasar.
2.1.6 Proses Pengembangan Kurikulum
Proses pengembangan Kurikulum biasanya
dimulai dari pengujian/pengecekan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang harus ditunjukkan siswa dalam penyelesaian suatu unit
pembelajaran.
Berikut adalah faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam Proses Pengembangan Kurikulum (Parkay, 2010:253) yakni :
- keseimbangan antara pemerolehan konten dengan penguasaan proses sesuai yang diinginkan
- sekuens dari isi
- pengetahuan awal siswa
- mengidentifikasi metode untuk menilai pembelajaran siswa
- performance jangka panjang vs jangka pendek
- kualitas vs kuantitas
Paling minimum
suatu rencana pengembangan dari suatu unit pembelajaran
harus mengandung 6 elemen, yakni:
- pengenalan/pendahuluan
- tujuan
- isi dari unit
- metode dan kegiatan
- materi pengajaran dan sumber belajar
- penilaian bagi pembelajaran siswa
Contoh
model pengembangan kurikulum (Murray,
1993 : 84).
2.2 Systemic Curriculum
2.2.1 Pengertian dan Prinsip Systemic Curriculum
Kurikulum sistemik adalah kurikulum
yang memiliki keterpaduan antara bagian-bagian dan membentuk suatu sistem. John
McNeil (2006: 44-57) menjelaskan secara gamblang tentang ciri-ciri kurikulum
sistemik, landasan teori yang mendukungnya dan implikasi.
Salah satu ciri dari
kurikulum sistemik adalah bahwa
kurikulum ini merupakan
“kendaraan “ bagi efisiensi dan efektivitas
dalam menyampaikan isi/materi. Kemudian ada standar-standar yang menjadi orientasi yang paling dominan baik itu
standar kompetensi, standar proses pembelajaran, standar penilaian dst. Selain itu, tujuan pembelajaran sudah dirancang bersamaan berbagai standar yang harus
dipenuhi. Evaluasi kemajuan disesuaikan dengan
tujuan instruksional, hasil-hasil tes, dan indikator-indikator lainnya.
Menurut
McNeil (2005; 44-50), kurikulum ini dapat dipandang sebagai wahana yang efektif
dan efisien dalam menuntaskan materi pelajaran. Berbagai program pelatihan
militer, industry, dan reliji menerapkan konsep ini dalam kurikulum
pembelajarannya. Keseragaman dan control merupakan ciri utama kurikulum ini.
Keseragaman tersebut meliputi tujuan pembelajaran, proses, materi, dan alat
evaluasi. Mastery learning (ketuntasan belajar) merupakan ciri dari sistemik
kurikulum. PSI (Personalized Systemic Instruction) juga termasuk media
teknologi yang banyak digunakan dalam meningkatkan pembelajaran. PSI
menggunakan prinsip behavorial science yang menuntut respon aktif dari para
siswa, hasil pencapaian sesegera mungkin
dan tujuan yang jelas. Evaluasi berupa tes dibuat sebelum merancang
kurikulum. Dalam edisi awal bukunya McNeil mengungkapkan bahwa kurikulum ini
disebut sebagai kurikulum teknologis.
Kurikulum
Sistemik dapat diterima oleh warga Amerika karena cocok dengan berbagai paham konvensional, salah
satunya mengangkat pentingnya tujuan dan perencanaan untuk menentukan apa yang akan dicapai sesuai dengan tujuan,
seiring dengan penilaian berkelanjutan.
Dalam
menentukan standar kinerja dilakukan dengan cara guru dan siswa memperjelas ekspektasi apa yang ingin diwujudkan sehingga kriterianya yang jelas. Kemudian
prestasi/achievement diukur melalui
feedback, tes, modifikasi, reward, dan punishment. Sistem penilaian dalam Kurikulum Sistemik mengukur/menilai, memotivasi siswa, proses untuk
mendapat perhatian siswa, membimbing,
memberi feedback dst. Dalam pelaksanaannya mengandung elemen dari jumlah siswa dalam kelompok atau
individu, alokasi waktu yang tersedia, dan pelaksanaannya kapan. Penilaian
tersebut berlaku di negara bagian, distrik, untuk materi program
pembelajaran sekolah, penyiapan dan
monitoring guru.
Dalam sistemik kurikulum, guru memutuskan topik
kunci dan apa yang harus dikerjakan
siswa sehingga memenuhi standar yang telah ditentukan. Proses pembelajaran dilakukan
dengan mencocokan kondisi stimulus dari kriteria based performance. Tes
dibuat sebelum merancang kurikulum.
2.2.2 Landasan Kurikulum Sistemik
Landasan
Psychologis dari sistemik Kurikulum didasari oleh Psikologi Behaviourism yang merupakan
basisnya. Prinsip dasarnya adalah hubungan antara stimulus, respon, dan hasil penguatan
(reinforcement) menghasilkan perubahan perilaku. Kebijakan bagi states maupun
distrik untuk memberi hadiah atau
menghukum sekolah maupun guru
berdasarkan hasil pencapaian mereka,merupakan contoh dari reinforcement.
Ciri-ciri prinsip behaviourism yang diterapkan di kurikulum ini antara lain
pelajaran menghapal di kelas oleh guru,
mengkoreksi atau mengaffirmasi feedback, membedakan jenis-jenis hasil
pembelajaran ( sederhana, kompleks, rendah, tinggi), task analisis yakni
menganalisis tugas konpleks menjadi unit-unit yang bisa dikelola, sekuens
pembelajaran dari parts to whole (
bagian ke keseluruhan), pembelajaran
langsung dengan arahan yang jelas,
contoh dan kesempatan untuk praktek dan menerapkan apa yang sudah
dipelajari.
Psikologi Kognitif dan teori information processing
juga mempengaruhi dalam hal
memperhatikan bagaimana kepercayaan siswa/ students’belief
mempengaruhi pembelajaran dan bagaimana konsep berfikir terjadi. Salah satu
implikasi dari psikologi kognitif dalam kurikulum sistemik adalah mengakomodasi
informasi baru ke dalam skema-skema yang ada, mengetahui kapan dan dimana menerapkan pengetahuan dan
strategi, memilah-milah informasi
menjadi unit-unit yang bermakna, pemodelan melalui simulasi, flowchart,
dll.
Social constructivism juga berpengaruh dalam hal partisipasi dalam
pembelajaran yang responsif terhadap
pengetahuan tentatif, konflik dalam pemahaman dan kepercayaan siswa yang dibawa ke sekolah, pengakuan bahwa anak-anak memiliki
kemampuan untuk terlibat dalam tingkatan pemikiran yang rumit.
Kurikulum sistemik akan lemah ketika asumsi psikologis dan teori pembelajaran tidak selaras. Ketika sebagian besar standar negara bergantung pada konsep behaviourism dan cognitivism,
maka untuk psikologi konstruktivism lebih cocok pada standar nasional bagi sains dan matematika, yang berfokus pada
ide-ide pokok.
2.2.3 Sejarah Timbulnya Kurikulum
Sistemik
McNeil (2006, 52-54) juga mendeskripsikan sejarah timbulya kurikulum sistemik. Pada
awalnya, pada abad 16, sekolah
Jesuit/Pastor melaksanakan kurikulum ini dalam
pengajaran classical liberal arts, filosofi dan teologi, yang bertujuan
untuk membentuk Kristiani yang ideal dan memiliki kepemimpinan dalam
kewarganegaraan, perdagangan, dan urusan pengadilan. Sampai 1890, Inggris dan Irlandia mengaplikasikan kurikulum ini. Mereka membayar
sekolah dan para guru berdasarkan persentase
para siswa yang lulus pada mata
pelajaran tertentu. Konsekuensinya antara lain silabus sudah ditentukan dan
pengajaran ditujukan untuk menghadapi ujian akhir, pengajaran guru lebih pada
siswa di level menengah, dibanding siswa di level atas atau kelas bawah. Pada
akhir tahun 1800-an, tes tertulis mulai diganti dengan tes lisan dalam
menentukan ketuntasan siswa.
Pemerintah juga membayar para pemeriksa tes tahunan dalam tes membaca, menulis,
aritmatika, grammar, dan geografi. Antara 1930-1940, ada pengembangan dari
bidang-bidang studi, pedoman dan kerangka kurikulum. Pada tahun 1960-an, ada
perubahan dalam sistemik kurikulum.
Pada awal
tahun 1900-an, tes masih digunakan
dalam menilai efisiensi dari para guru dan sekolah. Namun pada tahun
1930-an hakekat dan tujuan dari tes mulai berubah, dari menilai guru dan
sekolah menjadi menilai siswa. Tujuan tes adalah untuk mendiagnosa kekuatan dan kelemahan dari para
siswa, menempatkan siswa pada kelas atau
grup yang tepat, dan memberi skor/nilai. Karena sekolah mulai melaksanakan lebih banyak tujuan dalam menyiapkan siswa pada
kehidupannya, maka kurikulum standar mulai hilang dan pembedaan kurikulum merupakan
suatu norma antara masing-masing sekolah dan kelas.
Ada usaha kuat untuk memperkuat kurikulum
dengan program-program berbagaii
disiplin ilmu, yang melibatkan siswa dalam berbagai kegiatan, yang mencerminkan
praktek scientist dan para ilmuan dalam berbagai displin ilmu. Bentuk
pembelajarannya berupa modul, script
lesson, computer-assisted instruction,
yang mengurangi peran guru.
Sistemik
kurikulum menghadapi beberapa hambatan, antara lain bagaimana mengukur standar
dan kemajuan pencapaian prestasi sesuai dengan
tujuan yang ditetapkan.Seringkali ada ketidaksesuaian dan invalid
pengukuran. Einstein’s Quote “ Not Everything can be counted counts, and not
everything that counts, can be counted “
Pada tahun 1970-an, ada kegagalan dari program karena“Too
many targets turned out to be no targets at all”. Masalah serius muncul ketika terlalu
banyak standar yang ditetapkan oleh
states. Praktek meletakan taxonomi apa yang
harus diajarkan pada level yang berbeda-beda dipertanyakan publik.
Selian itu, daftar materi
dan keterampilan disebar menjadi
terpisah-pisah yang membuat kurang koordiasi
antara mata pelajaran dan
pemisahan dari konsep kunci. Muncullah reformasi sistemik kurikulum dalam merespon hal ini. Publik mendukung untuk
mengukur hasil dari kurikulum, sekolah maupun guru secara akuntabel.
Akuntabilitas dipandang sangat penting
untuk memperbaiki kurikulum dan menjamin
kualitas kurikulum. Ada tuntutan yang meningkat berdasarkan bukti penelitian bahwa
program kurikulum tertentu itu
efektif dan berkelanjutan dalam konteks
tertentu.
2.2.4 Konsekuensi dari Kurikulum
Sistemik
Reformasi kurikulum sistemik muncul
setelah 20 tahun Komisi Pendidikan Nasional Amerika (NCE)
melaporkan laporan “Nation at Risk” yang menganjurkan suatu reformasi
dalam kurikulum dan menyalahkan pendidikan menengah atas kurangnya tujuan
dasar dan terlalu sering menyarankan suatu kurikulum yang beragam. Pada laporan
tahun 2003 ditunjukkan pada publik akan pentingnya standar yang lebih tepat dan persyaratan yang lebih tinggi untuk
kelulusan siswa yang mana mereka menunjukkan
kemampuan yang solid dalam Bahasa Inggris, matematika, sains dan ilmu-ilmu
sosial.
Reformasi sistemik juga menginginkan
agar setiap sekolah atau pelayanan pendidikan publik di semua negara
bagian mengikuti standar akademik yang
umum, mempublikasikan rekaman/laporannya, dan memberi orangtua hak untuk memilih sekolah atau lembaga yang
menurut mereka paling tepat untuk putra putrinya.
Tes juga berpengaruh pada guru untuk
menggunakan berbagai ragam metode misalnya pembelajaran keseluruhan,
kooperatif learning dll yang dituntut dalam tes. Tes menjadi medium dimana
standar kurikulum ditafsirkan. Guru akan menghilangkan konten yang tidak
diperlukan, memberi penekanan pada topik-topik penting, dan lebih mengajarkan
pada keterampilan seperti menulis
dan berfikir kritis.
Pandangan para guru akan kurikulum berbasis standar akan berbeda satu sama lain tergantung pada
waktu dan efektifitasnya. Guru hebat akan menuntut suatu otonomi. Guru yang
baik menginginkan struktur namun masih mencari celah untuk merespon bakat dan
minat siswa. Sedangkan guru pemula akan
menyambut baik script lesson,
guiding questions, saran dan kegiatan pembelajaran bagi siswa, dan menggunakan
materi untuk menilai kemajuan siswa.
Dalam konteks pelaksanaan di Indonesia, Kurikulum yang diterapkan sifatnya
eklektik, tidak semua faham behaviorisme, humanisme subject akademik
diterapkan. Namun ada bagian-bagian tertentu yang diadopsi dan diterapkan
diIndonesia sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan yang ada. Salah satu sistem
kurikulum sistemik yang paling dominan adalah KBK (Kurikulum Berbasis
Kompetensi), dengan adany standar kompetensi, standar penilaian dan
standar-standar lainnya yang harus dipenuhi oleh siswa.
Sistemik kurikulum sering pula disebut kurikulum teknologis, bersifat holistik, yang terdiri
dari dua komponen atau lebih yang
memiliki relasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
BAB III
PEMBAHASAN
Systemic curriculum dapat ditemukan dalam banyak
konteks. Menurut McNeil (2005; 44-50), kurikulum
ini dapat dipandang sebagai wahana yang efektif dan efisien dalam menuntaskan materi
pelajaran. Berbagai program pelatihan militer, industry, dan reliji menerapkan konsep ini dalam kurikulum
pembelajarannya karena keseragaman dan control merupakan ciri utama
kurikulum ini. Keseragaman tersebut meliputi tujuan pembelajaran, proses, materi,
dan alat evaluasi.
Selain itu, Mastery
learning (ketuntasan belajar) merupakan ciri dari sistemik kurikulum. PSI (Personalized Systemic
Instruction) juga
termasuk media
teknologi yang banyak digunakan
dalam meningkatkan pembelajaran. PSI menggunakan prinsip behavorial science yang
menuntut respon aktif dari para siswa, hasil pencapaian sesegera mungkin dan tujuan yang jelas. Evaluasi berupa tes dibuat
sebelum merancang kurikulum. Dalam edisi awal
bukunya McNeil mengungkapkan bahwa kurikulum ini disebut sebagai kurikulum
teknologis.
Orientasi kurikulum ini fokus pada
standard-based curriculum (kurikulum berbasis standar). Pengembangkan perencanaan pembelajaran berdasarkan standar
yang telah ditentukan. Dan dinilai
berdasarkan standar isi dan kinerja. Topik kunci dirancang dan apa yang
harus dikerjakan siswa sehingga memenuhi standar yang telah ditentukan. Proses pembelajaran dilakukan
dengan mencocokkan kondisi
stimulus dari kriteria based performance.
Menelusuri akar teori
psikologi yang
digunakan dalam konsep systemic curriculum jelaslah
bahwa McNeil dengan gamblang mengungkapkan bahwa behaviourism
merupakan dasar psikologisnya. Prinsip dasar
yang utama adalah hubungan antara stimulus, respon, dan hasil penguatan
(reinforcement) dapat menghasilkan
perubahan perilaku. Kebijakan bagi states
maupun distrik untuk memberi hadiah atau
menghukum sekolah maupun guru berdasarkan hasil pencapaan mereka, merupakan
contoh dari reinforcement. Psikologi kognitif dan
teori information processing juga mempengaruhi dalam hal memperhatikan
bagaimana kepercayaan siswa (students’belief) mempengaruhi
pembelajaran dan bagaimana konsep berfikir terjadi.
Selanjutnya McNeil mengungkapkan
bahwa di USA, berbagai kosekuensi muncul dengan penerapan konsep ini. Masalah
serius muncul ketika terlalu banyak standar yang ditetapkan oleh Negara-negara bagian. Dalam prakteknya meletakan
taxonomi apa yang harus diajarkan pada
level yang berbeda-beda dipertanyakan publik. Selain
itu, daftar
materi dan keterampilan disebar menjadi terpisah-pisah yang membuat kurang
koordiasi antara mata pelajaran dan pemisahan dari konsep kunci.
Akhirnya muncullah
reformasi sistemik kurikulum dalam merespon hal ini. Publik
mendukung untuk mengukur hasil dari kurikulum, sekolah maupun guru secara
akuntabel. Akuntabilitas dipandang
sangat penting untuk memperbaiki kurikulum dan menjamin kualitas kurikulum. Ada tuntutan
yang meningkat berdasarkan bukti penelitian
bahwa program kurikulum
tertentu itu efektif dan berkelanjutan dalam konteks tertentu.
Mari kita bandingkan dengan pendapat dari
buku Ornstein (1998; 5) yang mengatakan bahwa salah satu pendekatan dalam
pengembangan kurikulum adalah systems approach. Dikatakan bahwa
pendekatan ini dipengaruhi oleh teori, analisis, dan rekayasa sistem. Militer,
industry, dan bisnis merupakan pengguna utama dari pendekatan ini. Tampaknya pendapat
ini selaras dengan yang ditulis oleh McNeil sebagai systemic curriculum.
Pendapat lain yang senada muncul dari model sistematik J. Romszowski. Model
ini juga menggunakan pendekatan system ( system Approach ). Pendekatan sistemik
dalam pengembangan suatu kurikulum adalah suatu pendekatan yang menitikberatkan
pada struktur dan keteraturan yang direncanakan sejak awal untuk menghasilkan
sesuatu yang spesifik. Model sistemik ini dapat digunakan untuk mengembangkan
program pendidikan, kurikulum, desain pembelajaran, dan desain program
pelatihan.
Jika McNeil hanya membahas secara konsep maka J. Romszowski lebih
terperinci menjadikan Systemic curriculum ini sebagai sebuah model
pengembangan dengan prosedur yang lebih sistematis. Dia menawarkan prosedur pengembangan kurikulum model sistemik ini dilakukan
dengan 14 langkah, yaitu Deskripsi tugas, analisis tugas, menetapkan kemampuan,
spesifikasi kemampuan, kebutuhan pendidikan dan latihan, organisasi dan isi, pemilihan
strategi pembelajaran, uji coba program, evaluasi, implementasi program,
monitoring, perbaikan dan penyesuaian.
Berdasarkan berbagai definisi dan
pendapat para ahli diatas, tampaknya penggunaan model ini dapat menjadi tawaran
alternatif dalam penyusunan kurikulum pada pendidikan vokasi atau kejuruan di
Indonesia. Hal ini dikarenakan pada jenis pendidikan ini perlu dengan jelas
diukur kemampuan di tingakat satuan pendidikan khususnya pada Sekolah Menengah Kejuruan.
Penerapan model ini akan menjadi suatu ciri khas satuan pendidikan melalui
penyusunan desain Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) sebagai kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan.
Walaupun era K-13 sudah berlaku tetapi sebenarnya prinsip KTSP tetap berlaku di
Indonesia saat ini. Dimana setiap satuan pendidikan tetap diberikan kewenangan
dalam menentukan implementasi kurikulumnya.
Sistemik kurikulum lebih tergambar dalam Kurikulum Pendidikan Vokasi (Kejuruan). Upaya untuk menghasilkan lulusan pendidikan
vokasi (kejuruan) yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja, perlu didukung
dengan kurikulum yang dirancang dan dikembangkan dengan memperhatikan kebutuhan
dunia kerja.
Secara konseptual kurikulum SMK berada pada posisi model
kurikulum teknologis, Model Kurikulum teknologis atau sering juga disebut
sebagai kurikulum kompetensi, yakni kurikulum mengarahkan pada pemuatan isi sesuai dengan
tuntutan kehidupan (pekerjaan), isi kurikulum disesuaikan dengan tututan
pekerjaan hidup (life skills), mata
pelajaran disusun berdasarkan karakteristik kompetensi yang perlu dikuasai,
model pembelajaran tuntas lebih banyak digunakan pada model kurikulum ini,
evaluasi pembelajaran diarahkan pada keterampilan hidup, dan siswa dipandang
sebagai calon orang dewasa.
Sistemic currikulum yang
diungkap sebagai konsep oleh McNeil dan disertakan langkah-langkah
implementasinya oleh Romiszowski, dapat
diuraikan sebagai alternative penyususnan kurikulum pendidikan kejuruan,
khususnya di Indonesia.
Model sistematik Romiszowski menerapkan salah
satu pendekatan sistem (system Approach).
Pendekatan sistematik dalam mengembangkan suatu kurikulum adalah suatu
pendekatan yang menitikberatkan pada struktur dan keteraturan yang direncanakan
sejak awal untuk menghasilkan hal-hal yang spesifik. Senada dengan hal
tersebut, Hamalik (2000:68-70), menyatakan bahwa “model sistematik ini dapat
digunakan untuk mengembangkan program pendidikan, kurikulum, desain
pembelajaran, dan desain program pelatihan”.
Pengembangan kurikulum dalam tulisan ini selain
mengacu pada consep McNel, juga didasarkan pada 14 langkah pengembangan
kurikulum J. Romiszowski. sebagai berikut: deskripsi tugas, analisis
tugas, menetapkan kemampuan, spesifikasi kemampuan, kebutuhan pendidikan dan
latihan, perumusan tujuan kompetensi/kemampuan, kriteria keberhasilan,
organisasi dan isi, pemilihan strategi pengajaran, uji coba program, evaluasi,
implementasi program, monitoring, dan perbaikan dan penyesuaian (feedback).
Kurikulum kejuruan
sebenarnya berpusat pada subject,
yaitu berupa mata pelajaran yang terpisah pisah, yang secara logis materi yang
diberikan adalah mata pelajaran yang dianggap penting dapat mengembangkan
kemampuan matematika, fisika, bahasa, kimia (adaptif) yang diajarkan dan materi
yang berkenaan dengan emosi, seperti seni rupa, olah raga, agama (normatif),
diberikan untuk mendukung pencapaian penguasaan kompetensi kejuruan
(produktif). Implikasinya guru hendaknya merupakan orang yang menguasai suatu
cabang ilmu, ahli (a master teacher)
yang bertugas membimbing untuk memudahkan siswa menyimpulkan materi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam proses
pengembangan kurikulum biasanya
dimulai dari pengujian/pengecekan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang harus ditunjukkan siswa dalam penyelesaian suatu unit
pembelajaran. Pada dasarnya pengembangan kurikulum adalah mengarahkan kurikulum
yang ada sekarang ke tujuan pendidikan yang diharapkan.
Dalam pengembangan
kurikulum harus memperhatikan
orientasi target dan waktu, dan fokus pada student centered atau subject centered.
Kurikulum sistemik adalah kurikulum
yang memiliki keterpaduan antara bagian-bagian dan membentuk suatu sistem. Keseragaman dan control merupakan
ciri utama kurikulum ini. Keseragaman tersebut meliputi tujuan pembelajaran,
proses, materi, dan alat evaluasi. Selain itu, Mastery
learning (ketuntasan belajar) merupakan ciri dari sistemik kurikulum. PSI (Personalized Systemic
Instruction) juga
termasuk media
teknologi yang banyak digunakan
dalam meningkatkan pembelajaran. PSI menggunakan prinsip behavorial science yang
menuntut respon aktif dari para siswa, hasil pencapaian sesegera mungkin dan tujuan yang jelas.
Orientasi kurikulum ini fokus pada
standard-based curriculum (kurikulum berbasis standar). Pengembangkan perencanaan pembelajaran berdasarkan standar
yang telah ditentukan. Dan dinilai
berdasarkan standar isi dan kinerja. Topik kunci dirancang dan apa yang
harus dikerjakan siswa sehingga memenuhi standar yang telah ditentukan. Proses pembelajaran dilakukan
dengan mencocokkan kondisi
stimulus dari kriteria based performance.
Jika McNeil hanya membahas secara konsep maka J. Romszowski lebih
terperinci menjadikan Systemic curriculum ini sebagai sebuah model
pengembangan dengan prosedur yang lebih sistematis. Jadi penggunaan model kurikulum
sistemik ini dapat menjadi tawaran alternatif dalam penyusunan kurikulum pada
pendidikan vokasi atau kejuruan di Indonesia. Hal ini dikarenakan pada jenis
pendidikan ini perlu dengan jelas diukur kemampuan di tingakat satuan pendidikan khususnya
pada Sekolah Menengah Kejuruan.
Penerapan model ini akan menjadi suatu ciri khas satuan pendidikan melalui
penyusunan desain Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) sebagai kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan.
Walaupun era K-13 sudah berlaku tetapi sebenarnya prinsip KTSP tetap berlaku di
Indonesia saat ini. Dimana setiap satuan pendidikan tetap diberikan kewenangan
dalam menentukan implementasi kurikulumnya.
4.2 Saran
Penulis menyadari jika
dalam tulisan ini masih banyak kekurangan. Karena itu penulis berharap masukan
dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini. Selain itu, bagi para
guru maupun pengembang kurikulum, dalm pengembangan suatu model kurikulum perlu
memperhatikan landasan teori yang mendukungnya sehingga harus didesain sebaik
mungkin demi terlaksananya suatu kurikulum yang antisipatif, adaptif, dan aplikatif.
Daftar Pustaka
Brady, Laurie Cirriculum Development, Prentice Hall, Victoria, 1990
Hamalik, Omar, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan
Sistem. Jakarta: Bumi Aksara, 2003
McNeil, John
D. Contemporary Curriculum in Thought and
Action, John Wiley & Sons, Inc, USA, 2006
Oliva, Peter F.
& William R. Gordon, II, Developing the Curriculum, PEARSON, USA,
2013
Ornstein, Allan C & Francis P. Hunkins, Curriculum: Foundation,
Principles and Issues, Allyn and
Bacon , Boston, 1998
Parkay, W. Forrest; Glen J Hass and Eric J. Anctil. Curriculum Leadership. Ninth Edition. Boston: Pearson.2010
Print, Murray Curriculum
Development and Design, Allen & Unwi, Sydney, 1993
Romiszowski, A
J Designing Instructional Systems: Decision Making in Cours Planning and
Curriculum Design, Kogan Page, New York, 1981
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya. 2011.
Nahh ini good lah ada sumbernya
ReplyDelete